Kamis, 29 Oktober 2015


Seperti apakah rupa kastil tengah danau di Keraton Yogyakarta tatkala Ida Pfeiffer menyambanginya pada akhir 1852?

Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Pelancong Eropa Abad 19Pulo Kenanga dalam kompleks Tamansari, Keraton Yogyakarta, sebelum gempa bumi besar pada 1867. Keanggunan Danau Segaran yang kerap dikisahkan pelancong awal abad ke-19 itu telah mengering. Mungkin Ida Pfeiffer, yang berkunjung pada 1852, menjumpai keadaan Tamansari seperti litografi karya Buddingh pada Januari 1859. (Geschiedenis van Nederlands Indi)
tamansari,keraton,yogyakarta,pulo kenangaPulo Kenanga setelah gempa bumi besar 1867. Lokasi Danau Segaran yang mengering ditumbuhi rerumputan dan semak. Foto sekitar 1890. (Kassian Cephas/Tropenmuseum)
“Barangkali inilah satu-satunya di dunia,” ungkap Ida Laura Reyer Pfeiffer, “Anda bisa menyaksikan istri dan putri-putri Sultan yang muslim, berdansa dalam pelukan para lelaki Eropa.”
 Ida Pfeiffer (14 Oktober 1779—27 Oktober 1858) merupakan seorang pelancong perempuan tomboi asal Wina, Austria. Dia mulai melancong pada 1836. Dan, Ida mengawali rute melancong keliling dunianya yang kedua pada awal 1851. Akhir tahun itu dia sudah menjejakkan kakinya di Sarawak, Borneo. Pada Februari 1852, dialah perempuan Eropa pertama yang melancongi pedalaman Hindia Belanda.
 Pada akhir November 1852, Ida berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Istana itu dikelilingi tembok tinggi, ungkapnya, dan di dalamnya terdapat taman, permandian, dan semacam perkantoran. “Salah satu bangunan dinamakan Tamansari atau Istana Air,” catatnya, “karena berlokasi di bawah air, begitulah sepanjang cerita pada awalnya.”
“Bangunan itu dirancang oleh para arsitek Portugis pada 1754.”
 Lokasi tepatnya di sisi barat laut Keraton. “Tamansari” bisa juga diartikan sebagai “Taman Mewangi”. Sementara, para pencatat asal Belanda menyebutnya “Waterkasteel”—puri di tengah kolam. Sebuah bangunan bernama Pulo Kenanga, menyeruak di tengah kolam Segaran. Bangunan ini dan sebuah masjid dihubungkan dengan jalan bawah air menuju ke sebuah kawasan di kolam pemandian para putri bangsawan.
 “Bangunan itu dirancang oleh para arsitek Portugis pada 1754.” Tamansari dibangun pada masa Sultan Pertama bertakhta. Menurutnya, Tamansari memiliki banyak ruangan berukuran luas, deretan lengkungan pintu dan berbagai lorong.
 “Namun demikian, banyak tempat menunjukkan tanda-tanda yang kian memburuk, tampaknya sudah lama tak dihuni,” ungkapnya. “Dan, orang Melayu, seperti orang timur lainnya, tidak pernah memperbaiki rumah-rumah yang tak lagi dihuni.”
Di puri yang meredup pamornya itu Ida hanya menyaksikan mebel kuno berupa tempat tidur kayu. Dia diperingatkan tidak boleh menyentuh apa pun, bagi siapa yang menyentuhnya akan menemui ajal lebih cepat. Tampaknya, larangan leluhur seperti ini masih diyakini orang Jawa khususnya untuk peranti keramat.
Sebagai seorang pelancong yang menghormati nilai-nilai setempat, Ida mematuhi perintah itu. Kendatipun demikian, sebagai seorang yang terlahir dalam budaya rasional, dia punya makna lain soal larangan itu. “Barangkali itu semacam cara sopan untuk melindungi tinggalan sakral milik mereka dari rasa ingin tahu orang Eropa.” Ida melanjutkan, “Lantaran Sultan Pertama yang membangun kerajaan ini pernah tidur di atasnya.”
gedung agung,loji kebon,wisma residen,hindia belandaWisma Residen di Yogyakarta, pada masa kolonial warga menyebutnya dengan Loji Kebon. Setelah Indonesia merdeka, rumah indis ini menjadi salah satu Istana Kepresidenan, dan dijuluki dengan Gedung Agung. Litografi sekitar 1883-1889. (Litografi berdasar lukisan cat air karya Jhr. Rappard)
Sebelum berkunjung ke Keraton, Ida berkesempatan menemui Residen Yogyakarta di Wisma Residen yang juga berlokasi di jantung kota itu. Tampaknya Ida punya kesan tersendiri tentang bangunan wisma itu. “Saya belum pernah melihat sebelumnya,” ujarnya. “Saya sangat menyukai bangunan yang tampaknya dibangun sebagai penghormatan untuk orang Eropa.
Ida juga mencatat Sultan kerap mengadakan pertemuan tak resmi bersama orang-orang Eropa di wisma residen, rumah orang Eropa lainnya, atau di klub sosialita. Di tempat terakhir itu “Dia [Sultan] kerap bermain kartu atau biliar, juga hiburan ala Eropa yang kerap digelar di situ,” ungkapnya.
Mary Somers Heidhues, ahli sejarah politik dari University of Göttingen, menyingkap kiprah pelancong ini dalam Woman on the Road : Ida Pfeiffer in the Indies, terbit di jurnal Archipel pada 2004. “Seorang wanita mengitari dunia telah memberikan para pembaca muda sebuah kajian atau pemikiran, sementara perempuan lain di Hindia masih sangat terbatas dalam gerakan mereka,” tulisnya dalam jurnal tersebut. “Barangkali catatan perjalanannya kelak membangkitkan sebuah ‘imajinasi’ tentang Hindia, yang kemudian menjadi Indonesia.”
ida pfiefferSosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Dia mengenakan penutup kepala dari Bali, yang lapisan dalamnya berupa daun pisang. Dia juga tetap memakai gaun, namun di atas pantalon pendeknya. Ketika perjalanan hujan, menunggang kuda, belum lagi ketika menyeberang sungai, gaun panjang bisa menjadi bencana. Ida membawa jaring dan wadah berselempang untuk spesimen serangga. Litografi oleh Adolf Dauthage. (Mary Somers Heidhues/Archipel)
Kisah tentang Ida Pfeiffer ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida yang terbit di London pada 1855.
Tahun ini, tepat 170 tahun silam, catatan perjalananIda Laura Reyer Pfieffer pertama kali diterbitkan di Wina, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci). Untuk mengenang penerbitan tersebut, webNational Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.

0 komentar:

Posting Komentar