Nyai Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Sri diperkirakan sebagai sisa kepercayaan masyarakat Indonesia pada masa kuno yang mampu bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama.
Pemujaan Dewi Sri diperkirakan berasal dari pemujaan Bhagawati Tara Dewi oleh para petani.
Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Pemujaan Dewi Sri diperkirakan berasal dari pemujaan Bhagawati Tara Dewi oleh para petani.
Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa.
Ia dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah juga bulan. Perannya mencakup segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi: bahan makanan pokok masyarakat Indonesia; maka ia mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran. Berkahnya terutama panen padi yang berlimpah dan dimuliakan sejak masa kerajaan kuno di pulau Jawa seperti Majapahit dan Pajajaran.
Dewi Sri juga mengendalikan segala kebalikannya yaitu ; kemiskinan, bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, memengaruhi kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Seringkali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah.
Dewi Sri juga mengendalikan segala kebalikannya yaitu ; kemiskinan, bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, memengaruhi kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Seringkali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah.
Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Meskipun demikian banyak versi mitos serupa mengenai dewi kesuburan juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia. Meskipun kini orang Indonesia kebanyakan adalah Muslim atau beragama Hindu, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme.
Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Masyarakat tradisional Jawa, terutama pengamal ajaran Kejawen, memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri yang disebut Pasrean (tempat Dewi Sri) agar mendapatkan kemakmuran. Tempat khusus ini dihiasi dengan ukiran ular dan patung loro blonyo, kadang-kadang lengkap dengan peralatan pertanian seperti ani-ani atau arit kecil dan sejumput padi. Sering pula diberi sesajen kecil untuk persembahan bagi Dewi Sri. Patung loro blonyo dianggap sebagai perwujudan Sri dan Sedhana, atau Kamaratih (ibu bumi) dan Kamajaya (bapa langit), semuanya merupakan lambang kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangga, serta kerukunan hubungan suami-istri. Ketika terjadi persetubuhan antara ibu bumi dan bapa langit di sawah, di sanalah orang-orang tradisionil berharap banyak tentang kesuburan.
Pada masyarakat petani di pedesaan Jawa, ada tradisi yang melarang mengganggu dan mengusir ular yang masuk ke dalam rumah. Malah ular itu diberikan persembahan dan dihormati hingga ular itu pergi dengan sendirinya, tradisi ini menganggap ular adalah pertanda baik bahwa panen mendatang akan berhasil melimpah. Pada upacara slametan menanam padi juga melibatkan dukun yang mengelilingi desa dengan keris berkekuatan gaib untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam.
Masyarakat Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Sri. Misalnya upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun oleh masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya.
Masyarakat Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Sri. Misalnya upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun oleh masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya.
Tradisi ini ditelusuri sudah dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba. Upacara digelar untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam serta padi yang akan dipanen. Pada perayaan ini masyarakat Sunda menyanyikan beberapa pantun atau kidung seperti Pangemat dan Angin-angin. Kidung nyanyian ini dimaksudkan untuk mengundang Dewi Sri agar sudi turun ke bumi dan memberkati bibit padi, supaya para petani sehat, dan sebagai upacara ngaruwat atau tolak bala; untuk menangkal kesialan atau nasib buruk yang mungkin dapat menimpa para petani.
Pada saat memanen padi pun masyarakat tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil yang dapat disembunyikan di telapak tangan. Masyarakat Sunda percaya bahwa Dewi Sri (Nyai Pohaci) yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam besar seperti arit atau golok. Selain itu ada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.
Pada saat memanen padi pun masyarakat tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil yang dapat disembunyikan di telapak tangan. Masyarakat Sunda percaya bahwa Dewi Sri (Nyai Pohaci) yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam besar seperti arit atau golok. Selain itu ada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.
Masyarakat petani di Bali biasanya menyediakan kuil kecil di sawah untuk memuliakan Dewi Sri. Kuil kecil ini sering kali diberi sesajen sebagai persembahan agar Dewi Sri sudi melindungi sawah mereka dan mengkaruniai kemakmuran dan panen yang berlimpah. Pada sistem kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Sri dianggap sebagai perwujudan atau perpaduan beberapa dewi-dewi Hindu seperti dewi Lakshmi, Dewi, dan Shri (gabungan sifat sakti dewi Hindu). Di Bali Dewi ini dianggap sebagai dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, serta kemakmuran dan pelindung keluarga.
PENGARUH BUDDHA
Dewi Sri diperkirakan sebagai sisa kepercayaan masyarakat Indonesia pada masa kuno yang mampu bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama. Pemujaan Dewi Sri diperkirakan berasal dari pemujaan Bhagawati Tara Dewi oleh para petani. Dalam salah satu wujudnya, Bhagawati Tara bermanifestasi sebagai Vasundhari atau Vasundharini. Ia digambarkan bertubuh kuning sambil memegang setangkai padi yang menguning.
Pemujaan kepada Bhagawati Tara Dewi berlangsung sebelum Kerajaan Majapahit, ditandai dengan dibangunnya Candi Kalasan oleh Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra. Candi tersebut diperkirakan dibangun pada tahun 778 Masehi.
Dewi Sri diperkirakan sebagai sisa kepercayaan masyarakat Indonesia pada masa kuno yang mampu bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama. Pemujaan Dewi Sri diperkirakan berasal dari pemujaan Bhagawati Tara Dewi oleh para petani. Dalam salah satu wujudnya, Bhagawati Tara bermanifestasi sebagai Vasundhari atau Vasundharini. Ia digambarkan bertubuh kuning sambil memegang setangkai padi yang menguning.
Pemujaan kepada Bhagawati Tara Dewi berlangsung sebelum Kerajaan Majapahit, ditandai dengan dibangunnya Candi Kalasan oleh Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra. Candi tersebut diperkirakan dibangun pada tahun 778 Masehi.
~dirangkum dari berbagai sumber~
0 komentar:
Posting Komentar